Senin, 22 Juni 2009

Kuasa Menyembuhkan atau Karunia Menyembuhkan?

Catatan : dalam membaca artikel ini, yang saya maksudkan dengan mujizat adalah pengertian mujizat pada umumnya.

Kadangkala umat Tuhan memandang sinis tentang kesembuhan. Khususnya dalam memandang dan memahami mujizat kesembuhan Illahi yang banyak terjadi dalam Kebaktian Kebangunan Rohani.
Kebanyakan mereka mempertanyakan, apakah mujizat yang dinyatakan dalam KKR tersebut, bukan hanya sebuah placebo, kesembuhan yang sembuh seketika tetapi sifatnya sementara akibat lonjakan atau luapan emosi sesaat, dan bukan benar-benar kesembuhan sejati dari Tuhan. Misalnya saja, di acara KKR yang meledak-ledak, banyak kesaksian kesembuhan, tetapi selanjutnya di hari yang sama ternyata yang bersaksi itu ikut maju lagi minta kesembuhan. Atau seseorang setelah bersaksi menerima kesembuhan, selang beberapa waktu kemudian sakit lagi. apakah mujizat Tuhan hanya berlaku sebentar, ataukah kesembuhan yang mereka terima hanyalah placebo?


Dalam beberapa hal saya setuju, sebaiknya kesembuhan harus dibuktikan secara medis. Misalnya, saat seseorang bersaksi disembuhkan dari penyakit dalam, maka haruslah dipastikan bahwa dalam catatan medisnya ia memang terkena penyakit yang dimaksud, dan selanjutnya harus dibuktikan dalam pemeriksaan medis, dan hasilnya adalah memang benar-benar sembuh. Hal ini bukan berarti tidak mempercayai mujizat kesembuhan, tetapi bila itu benar mujizat sejati, maka tidak perlu kuatir untuk diuji. Bukankah baik untuk mengetahui dirinya telah sembuh dari sisi medis? Kalau ada seorang pendeta mengatakan, kamu sudah sembuh, tidak usah cek medis lagi, jangan takut dan jangan goyah, cukup percaya saja, justru itu perlu diwaspadai. Iman memang tidak perlu melihat, tetapi kalau takut melihat hasil medis ya perlu dipertanyakan, apakah itu iman beneran? Ada juga yang hanya cari sensasi, menyatakan sembuh dari diabet, lalu ditunjukkan hasil cek-up-nya ternyata diabetnya sehat, karena memang ia tidak pernah sakit diabet dari awalnya, ia hanya sakit kegemukan. Hal-hal semacam inilah yang membuat beberapa orang menjadi sinis terhadap apa yang disebut dengan mujizat kesembuhan.

Umat beriman yang kritis ini terkadang juga mempermasalahkan tentang hamba Tuhan yang berkarya dalam mujizat kesembuhan. Mengapa kok manusia memerintah dan memaksakan suatu kesembuhan kepada Tuhan. Bukankah Tuhan tidak bisa diperintah? Menurut saya, dalam menyikapi hal ini kita mesti bijaksana. Keberadaan hamba-hamba Tuhan ini adalah sebagai orang yang membantu seseorang supaya bangkit imannya, dengan cara memperdengarkan Firman Allah. Tetapi mereka seharusnya tidak memerintah Tuhan. Karena Tuhan sendiri sudah menyediakan kesembuhan. Sudah menawarkan kesembuhan. Sudah menanggung segala penyakit kita. BilurNya menyembuhkan. Jadi, sebenarnya orang beriman hanya memohon dan selanjutnya menerima kesembuhan dengan iman. Tidak ada yang namanya memerintah Tuhan. Keberadaan hamba-hamba Tuhan hanya untuk membangkitkan iman umat Tuhan, dengan memperdengarkan Firman Allah, karena iman tumbuh dari pendengaran Firman. Ini seperti seorang anak yang memerlukan sesuatu dan memohon kepada ayahnya, kemudian yakin akan diberi, tanpa memaksa. Kalau tidak memohon kepada ayahnya, kepada siapa harus memohon, masa memohon pada ayah tetangga? Demikian juga kita, kalau tdak memohon kepada Bapa, kepada siapa kita memohon, apakah kepada pendeta?

Yang namanya kesembuhan, tidak harus seketika. Memang kalau sembuhnya seketika, itu menjadi sangat berkesan dan dinilai sebagai mujizat. Tetapi kalaupun sembuhnya berangsur-angsur, biasanya tidak dipahami sebagai mujizat, tetapi sebagai kesembuhan yang wajar, apalagi kalau disertai tindakan medis atau pengobatan. Namun kalau kesembuhan semacam itu terjadi terhadap suatu penyakit yang membawa mati dan tak mungkin sembuh secara kedokteran, apa itu bukan termasuk mujizat? Misalnya seseorang pekerja gereja terjatuh dari lantai 4 pada waktu bersih-bersih, secara medis tengkoraknya rusak, gegar otak, mata pecah, darah sudah dimana-mana. Semua dokter mengatakan, keluarkan saja dari ICCU, toh tidak akan tertolong. Kalau tertolongpun perlu mujizat, dan pasti cacat otak dan buta. Tetapi setelah ditunggu sekian hari, semua berangsur-angsur pulih (dokter hanya bisa menunggu dan tidak melakukan operasi, baru setelah kondisi membaik mereka berani melakukan operasi), dan sekarang sembuh tanpa cacat, tidak buta, tidak juga bodoh.
Tak dipungkiri di sisi sebaliknya, ada orang-orang yang secara ekstrem memandang mujizat adalah segala-galanya. Mereka memandang, suatu gereja atau KKR yang tidak ada terjadi mujizat, adalah gereja atau KKR yang tidak ada kuasa atau hadirat Tuhan. Ini suatu klaim yang tidak benar, karena dua atau tiga orang berkumpul dalam nama Tuhan, Tuhan hadir. Orang-orang demikian memandang bahwa mujizat adalah merupakan sebuah keharusan. Sampai-sampai semua penyakit dianggap ada setannya dan ditengkinglah si setan pembawa penyakit.
Mujizat memang untuk meneguhkan dan mempertobatkan, menunjukkan kemuliaan Tuhan, tetapi gereja yang mengutamakan mujizat, serta bukannya mengutamakan Firman Tuhan, maka dikuatirkan kalau gereja tersebut tidak berakar dalam Firman, dan mudah goyah. Gereja yang benar bukan berjalan berdasarkan apa yang dilihat, tetapi berdasar Firman.
Tidak jarang gereja demikian akhirnya mengkultus individukan seseorang pengkotbah. Kalau bukan pengkotbah tersebut, maka jangan-jangan tidak bisa disembuhkan. Kalau bukan pengkotbah tersebut, jangan-jangan tidak ada mujizat. Wah-wah-wah, ini sudah salah kaprah.... yang punya kuasa kesembuhan itu bukan manusia, sehebat apapun rohaninya. Hanya Allah yang punya kuasa kesembuhan.
Orang beriman hanya mengalirkan kuasa tersebut. Diantara orang-orang beriman memang ada yang memperoleh suatu karunia Roh Kudus yang biasa disebut sebagai karunia menyembuhkan, tetapi hal itu tidak berarti ia mempunyai kuasa menyembuhkan. Namanya saja Karunia Roh Kudus, jadi itu miliknya Roh Kudus, Allah Tritunggal. Tuhanlah yang mempunyai dan memberikan kesembuhan pada seseorang. Setiap orang beriman bisa memperoleh kesembuhan Ilahi, kesembuhan yang benar-benar ajaib dari Allah. Sekalipun ada kekhususan, tetapi setiap orang beriman dapat dipakai Allah untuk menjadi saluran untuk membangkitkan iman dan kepercayaan seseorang sehingga ia bisa menerima kesembuhan Illahi. Dari mana seseorang mampu berbuat demikian? Dari Allah. Inilah karunia menyembuhkan.
Jadi Saudara yang sakit, jangan berharap seseorang akan menyembuhkanmu. Seorang pendeta kaliber internasional sekalipun, tidaklah mempunyai kuasa menyembuhkan. Berharaplah kepada Tuhan, sekalipun Anda tidak pernah bertemu pendeta kaliber internasional, tetapi Tuhan ada.
Mujizat itu pasti ada. Kadang kesembuhan. Kadang keuangan. Tetapi itu semua Tuhan yang bekerja, Dia bergerak sesuai iman kita. Kita tidak memaksa Tuhan, tetapi kita bersandar, memohon kepada Allah Bapa kita supaya kita memperoleh Kasih KaruniaNya, berkatNya, RahmatNya, MujizatNya, atau apapun Anda menyebutnya, seperti seorang anak meminta dan percaya kepada bapanya.
Selengkapnya... »»