Senin, 02 November 2009

Lho kok kamu kemaren ngga ke Gereja?

Alkitab mengajarkan, janganlah kita menjauhkan diri dari persekutuan dengan Saudara seiman. Hal ini patut kita amini. Betul?

Tetapi kadang kala ada sesuatu hal yang membuat kita tidak bisa bersekutu, khususnya pada jam-jam kebaktian rutin.

Yang bikin runyam adalah banyak yang menganggap dan menilai seseorang itu rohani dari keaktifannya di dalam Gereja dan pelayanan.

Sehingga kalau absen dalam kebaktian dianggap ga rohani.

Apa bener menilai kerohanian seseorang dari absensi dan keaktifannya di gereja?
Saya setuju bahwa orang yang rohani, akan rajin beribadah dan datang ke kebaktian bersama yang rutin diadakan pada hari-hari tertentu. Untuk Kebaktian Umum, Kebaktian Doa, Kebaktian Pelajaran Alkitab, Persekutuan Kelompok, dan lain sebagainya. Dari dalam hatinya meluap kecintaan dan haus akan Tuhan. Tetapi, rupanya ada juga orang-orang yang sok rohani – yang mungkin faham dan hafal isi Alkitab, yang juga rajin dan rutin bergereja. Beraktifitas dalam pelayanan. Celakanya, apinya, gairahnya, lain. Akhirnya hanya jadi seperti Orang Farisi dan Ahli Taurat. Menganggap dirinya lebih rohani, lebih baik, lebih terhormat dibanding orang lain.

So, belon tentu orang yang ke gerejanya ndak pernah absen di semua kebaktian itu rohaninya baik.

Artinya, ndak semua orang yang ndak bisa rutin ke gereja itu terus ndak rohani, ndak punya gairah, ndak punya kerinduan. Jangan salah, saya tidak mengatakan ini supaya kita ndak usah ke Gereja secara rutin.

Sering saya merasa sedih manakala tidak dapat berbakti dalam kebaktian-kebaktian rutin. Manakala saya harus berada di luar kota. Manakala saya sakit dan lelah sekali. Dan karena itu seseorang dengan mudah mengatakan kepada saya, kok kamu jadi lupa sama Tuhan... OH GOD. DARIMANA DIA BERANI BERKATA DEMIKIAN... .
Orang dengan mudah menghakimi dan menilai seseorang dari luar. Tetapi Tuhan melihat hati. Kita tidak mungkin berpura-pura atau beralasan sama Tuhan kalau kita tidak mau ke Gereja, hal itu akan percuma saja.

Apapun, sebagai masukan, saya tetap merenungkan perkataan itu. Saya anggap seseorang itu adalah seseorang yang mengasihi saya, bukan sedang menghakimi saya. Ini satu-satunya sikap terbaik yang dapat saya ambil.

Sekalipun demikian, saya sempat tercenung. Andai pertanyaan ini dilontarkan kepada orang lain, apa responsnya akan sama dengan saya? Atau malah terpental, atau cuek bebek? Ndak taulah.

Mungkin dalam dirinya ia berpikir bahwa saya sudah menikmati berkat-berkat Tuhan, kemudian jadi lupa sama Tuhan. Hahaha. Picik sekali pikirannya kalau memang demikian. Saya menyadari kebaikan Tuhan sejak kelas 3 SD. Di saat anak-anak lain sedang dalam masa-masa kenakalan kanak-kanaknya, saya sudah menangis di hadirat Tuhan. Tuhan Yesus. Baiklah saya ceritakan sejenak.

Waktu kecil saya tinggal bersama kakek dan nenak saya jauh dari kota, jauh dari orang tua saya. Bukan karena dibuang, tapi dititipkan. Sementara orang tua saya membanting tulang di kota untuk menghidupi saya, yang tentunya mereka lakukan karena mereka mengasihi saya. Sebenarnya cara mendidik yang salah, saya tidak akan melakukan hal demikian terhadap anak-anak saya. Dalam didikan kakek dan nenek saya yang sangat polos pengertian rohaninya, tetapi mereka mengajarkan kepada saya apa artinya berdoa dan ke gereja. Sejak saya berada di TK, setiap hari Minggu kami ke gereja naik becak istimewa. Istimewa soalnya setiap harinya ya naik tukang becak yang itu-itu juga, hehehe. Kakek saya adalah seorang pendoa yang sangat luar biasa. Saya bisa berjam-jam menantinya selesai berdoa di dalam kamar. Bukan dari aliran pantekosta. Tante saya (Almarhum sejak saya kelas 2 SMP) juga seorang lulusan sekolah Alkitab, yang tidak menikah, dan tinggla bersama-sama kami. Seringkali saya mendapatkan cerita-cerita Alkitab yang menarik. Dari Tante sayalah saya mengetahui dan membaca untuk pertama kalinya Alkitab. Kitab Lukas 8, tentang Tuhan Yesus menghentikan angin ribut. Sejak saat itu saya suka sekali membaca Alkitab.
Hingga suatu saat waktu saya kelas 2 SD, nenek saya terkasih meninggal. Akhirnya saya tidur dan diasuh oleh tante saya itu. Kakek saya masih kuat bekerja, dan lebih memilih untuk menghabiskan hari-harinya dalam pekerjaan dan pelayanan, biar ndak pikun katanya.

Pada suatu malam waktu saya di kelas 3 SD, saya sedang sendirian berada di dalam kamar saya yang berada di depan. Suasana begitu sepi. Tante saya berada di belakang rumah sedang menonton televisi, mungkin acara musik. Sekitar pukul delapan malam. Entah apa yang terjadi, saya sampai saat ini juga masih merasa heran. Tiba-tiba saja hati dan pikiran saya dipenuhi begitu saja dengan pikiran tentang pengorbanan Kristus. Saya sudah membaca ceritanya dari Alkitab beberapa kali, karena saya sangat suka membaca Alkitab. Semua drama penyaliban Tuhan seakan-akan terjadi dalam kamar saya.

Tidak ada rasa takut dalam hati saya. Malah perasaaan trenyuh, perasaan berdosa, perasaan dan pertanyaan yang menjadi satu : mengapa Tuhan Yesus mau melakukan ini semua, buat saya. Mati buat saya. Menebus saya. Saya tidak habis mengerti. Saya menangis. Saya merasa menjadi anak nakal. Saya merasa ditebus dan dikasihi oleh Tuhan Yesus. Ya, saat anak-anak lain mungkin tidak begitu memperhatikan cerita Alkitab dari guru-guru Sekolah Minggunya. Saya sendiri sampai saat itu bukanlah seorang murid Sekolah Minggu. Saya hanya berbakti bersama-sama Kakek saya di kebaktian Umum, Natal dan Paskah.

Tidak lama, tante saya datang ke kamar. Saya masih belum bisa mengendalikan perasaan saya, dan tentuny tante saya heran, kenapa saya menangis. Tetapi ketika saya bertanya kepadanya, kok Tuhan itu baik dan mau disalib, rupanya tante saya tahu, bahwa ada jamahan Tuhan terjadi. Di kamar itulah, kami sering berdoa bersama. Saya begitu bahagia dan mengasihi Tuhan. Hal ini meyakinkan saya bahwa anak-anak bukan tidak mengerti pertobatan dan pengampunan. Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan, bahkan anak-anak sekalipun dapat diberikan hati yang mengasihi dan pengertian akan Tuhan. Entah apakah halangannya bagi anak-anak yang demikian untuk dibaptiskan, tetapi sampai saat ini belum banyak gereja yang mengijinkan baptisan anak di bawah 12 tahun. -Pengalaman bukan kebenaran absolut, demikian yang diajarkan. Baiklah kita hormati saja hal itu.

Nah itu sekelumit kisah perjumpaan saya dengan Tuhan. Pada tahun-tahun selanjutnya saya banyak merasakan dan menerima pelajaran dari Tuhan, yang mengasihi saya. Tuhan mengajarkan betapa Ia akan meninggikan yang direndahkan dan merendahkan yang menginggikan diri. Hal ini merupakan Rhema pertama yang saya terima di kelas 6 SD. Mungkin agak lambat bagi saya untuk menyadari Rhema itu, tetapi saya kira saya telah cukup banyak membaca Alkitab dan telah menerima Firman secara Logos.

Berikutnya saya makin dewasa dan makin mengerti, hingga akhirnya pada waktu SMP saya pindah ke kota untuk tinggal bersama orang tua saya (suatu pergumulan untuk bergabung dengan orang tua sendiri, tapi sejak saat itu saya menjadi anak kota jo...), saya dibaptiskan air dan masuk dalam pelayanan formal di suatu Gereja Pantekosta. Hal ini juga bukan merupakan kebetulan, di mana orang tua saya dipertobatkan, padahal dulu... saat saya membaca Alkitab, saya dilarang setengah mati. Saya begitu sedih waktu itu, kok dilarang sih... padahal ini buku yang baik, di mana-mana orang tua pengin anaknya rajin membaca, kok ini malah dilarang...
Tuhan, Engkau sudah mengenalku dan aku mengenalmu sejak kelas tiga SD. Masakan Engkau melupakan aku dan aku melupakan Engkau. Ikatan yang terjalin sudah begitu dalam. Ikatan kasih yang tulus, gairah Illahi yang suci. Yang seharusnya tidak bisa terpisahkan oleh apapun. Oleh kesulitan, oleh kesedihan, oleh waktu, oleh jarak dan oleh apapun.

Saya percaya, saat saya berada di Jakarta, Tuhan ada serta saya. Saya percaya saat saya sakit dan lelah, sekalipun saya tidak sedang di gereja, Tuhan serta saya. Dan saya percaya, saya tidak pernah meninggalkan Dia, saya tidak pernah melupakan Dia. Hati saya tetap bergairah dan mempunyai kerinduan akan Dia. Begitu mudah bagi saya untuk dapat menenggelamkan diri dalam hadiratNya, begitu saya berdoa. Karena Dia tidak pernah jauh.

Sebagai manusia, kita mungkin akan merasa naik dan turun dalam rohani kita. Saya tidak mengatakan hal ini wajar, tetapi tidak ada satupun manusia yang tidak pernah merasa demikian, selama masih hidup dalam dunia ini. Saat kita merasa lemah dan turun, jangan biarkan. Tetapi, poin saya adalah, bukan karena keberadaan seseorang yang not present @ the church lalu bisa dianggap, dinilai, dihakimi secara membabi buta mundur, ngga rohani, apalagi undur dan murtad. Hakimilah, nilailah dengan cara Allah menilai, bukan dengan cara manusia apalagi cara babi buta. Artinya, hakimilah dengan adil.

Kadangkala dalam menilai seseorang, kita perlu menempatkan diri bagaimana kalau kita di posisi orang tersebut. Perhatikan, apa yang saya katakan bukan pembenaran bagi mereka yang malas kebaktian!!! Kono, rumput tetangga selalu lebih hijau bo...
Saya berpikir lebih jauh. Mungkin orang itu menganggap saya terkena sindrom Yesyurun. Taukan siapa Yesyurun itu? Sehabis gemuk ia menendang tuannya. Nah, mungkin doktrin ini yang mancep di hati dan pikirannya. Dahulu, saya ke gereja memakai kendaraan umum, selalu mampir terminal. Kemudian meningkat memakai motor, yang rodanya dua dan setirnya kenceng. Iyalah kalau motor roda tiga namanya bajai. Hujan dan panas silih berganti menerpa saya. Saya bersyukur Tuhan memberi kekuatan. Bahkan sampai jatuh bangun nabrak mobil, pembatas jalan, dan lain sebagainya, Tuhan senantiasa melindungi. Makanya naik motor jangan meleng. Dan pakai helm sampai klik, jangan make henpon. Nah,... sekarang saya naik roda empat, setir bunder. Lha... benerkan ini sindrom Yesyurun... Bwahahaha.

Mungkin ngga cuma saya yang dinilai dan dihakim demikian. Sekali lagi, ini bukan pembenaran bagi mereka yang malas kebaktian!!! Juga bukan bagi mereka yang hanya tinggal beraroma minyak wangi tetapi minyaknya sendiri sudah habis. Nangkap maskud saya? Tetapi ini merupakan pikiran picik, pikiran yang sangat dangkal, dan cara penilaian atau penghakiman yang sama sekali tidak adil. Saya yakin penilaian Allah tidak demikian. Ia menilai dan melihat dari segala aspek sampai ke dalam hati.
Saya kira, apabila saya bertanya kepada orang itu, apakah dia benar-benar mengasihi Allah dengan caranya, saya yakin dia akan menjawab iya. Sayapun mengasihi Allah dengan cara saya, dan Allah mengasihi saya dengan caraNya. Tiap pribadi kondisional. Seseorang suami mungkin mengungkapkan perasaan kasih kepada istrinya dengan bunga, seseorang lain mengungkapkannya dengan coklat. Ada yang mengekspresikan kasihnya dengan berjalan merangkul istrinya, ada yang cukup dengan bergandeng tangan. Ada istri yang setiap pagi memasakkan telur untuk suaminya, beberapa memilih menemani suaminya minum teh di petang hari. Ada latar belakang dan alasan untuk semuanya itu, tidak ada masalah bukan? Apakah orang yang berangkulan itu cinta kasihnya lebih dari pada yang sekedar bergandeng tangan?

Saya tidak mungkin –dan mungkin juga Allah tidak- menuntut orang itu untuk mengasihi Allah dengan cara yang saya lakukan. Kalau dia dipaksa berhujan-hujan dan berpanas-panas dalam situasi yang sama dengan yang saya hadapi waktu itu, kemudian naik kendaraan umum atau bersepeda motor, mungkin ia tidak mampu bertahan untuk mengasihi Allah. Saya boleh bermegah tentang ini di dalam Tuhan, meskipun hujan panas tetapi kasih itu tidak lapuk... dan saya berdoa supaya dia senantiasa dalam keadaan yang baik, sehingga tidak perlu mengalami masa-masa yang seperti saya hadapi yang mungkin akan membuatnya kecewa... Dan ketika saya semakin diberkati, jauhlah daripada saya untuk melupakan Allah yang memberkati saya. This is me, You know who I am, hold me, keep me.

Saya sepakat kita ndak boleh sombong sama keadaan rohani kita, yang itu juga berarti kita tidak boleh merendahkan keadaan rohani orang lain. Kadang dengan mudah orang mengatakan : ya sudah diberkati jadi lupa sama Tuhan, seperti di atas. Tetapi ketika melihat seorang lain yang berkekurangan dan tidak memiliki uang transpor ke gereja, ia diam saja tidak membantu, malahan dengan mudah mencemooh : itulah karena kurang dekat sama Tuhan jadinya ndak keberkatan. Wah ya repot kalau semua orang yang mengaku rohani ternyata cuman demikian... Yang terpenting ialah KASIH.
Memang, pelayanan dan pertumbuhan rohani banyak didapatkan justru pada waktu kita praktek dalam kehidupan sehari-har, bukan sekedar pelayanan dan kebaktian formal. Tetapi tanpa pokok-pokok pengertian dasar yang kokoh dan tanpa persekutuan yang menguatkan, kita akan mudah terombang-ambing, sehingga tidak mungkin menjadi berkat dan panutan yang baik.Itu semua kita dapatkan dari kebaktian dan pelayanan formal dalam gereja. Namun kehidupan kerohanian kita yang ngga terlihat di gereja itu mau tidak mau akan lebih banyak mendapatkan tempat dalam kehidupan kita, dan jangan sampai Minggu jadi Pendeta, Senin-Sabtu jadi Pendekar Mabuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar